Selasa, 08 November 2011

Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana


Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana


 
 
 
 
 
 
i
 
Rate This
Quantcast
De’… de’… Selamat Ulang Tahun…” bisik seraut wajah tampan tepat di hadapanku. “Hmm…” aku yang sedang lelap hanya memicingkan mata dan tidur kembali setelah menunggu sekian detik tak ada kata-kata lain yang terlontar dari bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di hadapanku. Shubuh ini usiaku dua puluh empat tahun. Ulang tahun pertama sejak pernikahan kami lima bulan yang lalu. Nothing special. Sejak bangun aku cuma diam, kecewa. Tak ada kado, tak ada black forest mini, tak ada setangkai mawar seperti mimpiku semalam. Malas aku beranjak ke kamar mandi. Shalat Subuh kami berdua seperti biasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku, dan selalu ia mengecup kening, pipi, terakhir bibirku. Setelah itu diam. Tiba-tiba hari ini aku merasa bukan apa-apa, padahal ini hari istimewaku. Orang yang aku harapkan akan memperlakukanku seperti putri hari ini cuma memandangku. Alat shalat kubereskan dan aku kembali berbaring di kasur tanpa dipanku. Memejamkan mata, menghibur diri, dan mengucapkan. Happy Birthday to Me… Happy Birthday to Me…. Bisik hatiku perih. Tiba-tiba
aku terisak. Entah mengapa. Aku sedih di hari ulang tahunku. Kini aku
sudah menikah. Terbayang bahwa diriku pantas mendapatkan lebih dari
ini. Aku berhak punya suami yang mapan, yang bisa mengantarku ke
mana-mana dengan kendaraan. Bisa membelikan blackforest, bisa
membelikan aku gamis saat aku hamil begini, bisa mengajakku menginap di
sebuah resort di malam dan hari ulang tahunku. Bukannya aku yang harus
sering keluar uang untuk segala kebutuhan sehari-hari, karena memang
penghasilanku lebih besar. Sampai kapan aku mesti bersabar, sementara
itu bukanlah kewajibanku.
“De… Ade kenapa?” tanya suamiku dengan nada bingung dan khawatir.
Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalu membuka mata. Matanya
tepat menancap di mataku.. Di tangannya tergenggam sebuah bungkusan
warna merah jambu. Ada tatapan rasa bersalah dan malu di matanya.
Sementara bungkusan itu enggan disodorkannya kepadaku.
“Selamat ulang tahun ya De’…” bisiknya lirih. “Sebenernya aku mau
bangunin kamu semalam, dan ngasih kado ini… tapi kamu capek banget ya?
Ucapnya takut-takut.
Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah jambu
itu. Dari mana dia belajar membukus kado seperti ini? Batinku sedikit
terhibur.. Aku buka perlahan bungkusnya sambil menatap lekat matanya.
Ada air yang menggenang.
“Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini. Nnnng… Nggak bagus ya de?” ucapnya terbata. Matanya dihujamkan ke lantai.
Kubuka secarik kartu kecil putih manis dengan bunga pink dan ungu
warna favoritku. Sebuah tas selempang abu-abu bergambar Mickey
mengajakku tersenyum. Segala kesahku akan sedikitnya nafkah yang
diberikannya menguap entah ke mana. Tiba-tiba aku malu, betapa tak
bersyukurnya aku.
“Jelek ya de’? Maaf ya de’… aku nggak bisa ngasih apa-apa…. Aku
belum bisa nafkahin kamu sepenuhnya. Maafin aku ya de’…” desahnya.
Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makan siangnya untuk tas ini.
Kupeluk dia dan tangisku meledak di pelukannya. Aku rasakan tetesan air
matanya juga membasahi pundakku. Kuhadapkan wajahnya di hadapanku.
Masih dalam tunduk, air matanya mengalir. Rabbi… mengapa sepicik itu
pikiranku? Yang menilai sesuatu dari materi? Sementara besarnya
karuniamu masih aku pertanyakan.
“A’ lihat aku…,” pintaku padanya. Ia menatapku lekat. Aku melihat
telaga bening di matanya. Sejuk dan menenteramkan. Aku tahu ia begitu
menyayangi aku, tapi keterbatasan dirinya menyeret dayanya untuk
membahagiakan aku. Tercekat aku menatap pancaran kasih dan ketulusan
itu. “Tahu nggak… kamu ngasih aku banyaaaak banget,” bisikku di antara
isakan. “Kamu ngasih aku seorang suami yang sayang sama istrinya, yang
perhatian. Kamu ngasih aku kesempatan untuk meraih surga-Nya.. Kamu
ngasih aku dede’,” senyumku sambil mengelus perutku. “Kamu ngasih aku
sebuah keluarga yang sayang sama aku, kamu ngasih aku mama….” bisikku
dalam cekat.
Terbayang wajah mama mertuaku yang perhatiannya setengah mati
padaku, melebihi keluargaku sendiri. “Kamu yang selalu nelfon aku
setiap jam istirahat, yang lain mana ada suaminya yang selalu telepon
setiap siang,” isakku diselingi tawa. Ia tertawa kemudian tangisnya
semakin kencang di pelukanku.
Rabbana… mungkin Engkau belum memberikan kami karunia yang nampak
dilihat mata, tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernah aku alami
bersama suamiku tak dapat aku samakan dengan mimpi-mimpiku akan sebuah
rumah pribadi, kendaraan pribadi, jabatan suami yang oke,
fasilitas-fasilitas . Harta yang hanya terasa dalam hitungan waktu
dunia. Mengapa aku masih bertanya. Mengapa keberadaan dia di sisiku
masih aku nafikan nilainya. Akan aku nilai apa ketulusannya atas apa
saja yang ia berikan untukku? Hanya dengan keluhan? Teringat lagi puisi
pemberiannya saat kami baru menikah… Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana…
By : Ust Anismata

Rabu, 02 November 2011

Lagu Terakhir Untuk Ita

Sudah hampir dua jam Ita mondar-mandir mengelilingi kamarnya, gadis ini terlihat sangat gelisah. Berulang kali dia melirik hp kecil yang ada di tempat tidurnya, tapi tak ada satu pun pesan masuk yang tampak di hp itu.
“Kamu kemana, sih? Kok sms ku nggak di balas-balas” gerutu Ita sambil memencet nomer telepon dengan cepat.
Sebelum Ita sempat menelpon, sebuah SMS masuk dan di layar ponsel itu tertulis My Prince. Secepat kilat dia membuka SMS itu lalu membacanya dengan tidak sabar. Ternyata orang yang selama ini dia tunggu itu baru saja selesai bertanding dalam turnamen voli. Setelah membalas SMS itu, Ita memejamkan matanya untuk tidur, karena malam telah larut.
Keesokan harinya…
Seperti biasa, Ita selalu mengirimkan ucapan selamat pagi pada kekasihnya sebelum dia berangkat kuliah. Namun, hatinya kembali tak tenang ketika sang kekasih belum juga membalas SMS-nya hingga sore hari. Berkali-kali dia mengirimkan SMS, hingga akhirnya balasan yang ditunggu datang.
-aku udah sholat dan makan kok-
Ita langsung membalas SMS itu, tapi setelah beberapa kali SMS-an, dia merasa ada yang aneh dengan pesan dari kekasihnya itu. Hingga akhirnya dia tahu kalau ternyata yang membalas SMS itu bukanlah Ivan pacarnya, tapi temannya. Hal itu membuat Ita sangat marah dan tidak membalas SMS itu lagi. Dia berharap pacarnya akan menghubunginya dan meminta maaf langsung padanya.
Tapi pertengkaran itu malah berlanjut hingga malam hari. Meskipun Ivan telah meminta maaf, tapi Ita masih juga kesal dengan sikap Ivan yang tidak mau membalas SMS-nya. Dan malam itu pun berakhir tanpa ada SMS dari keduanya.
Pertengkaran kedua pasangan itu berakhir dengan kata putus yang dikirimkan lewat SMS oleh Ivan. Hal itu membuat Ita yang sejak awal sudah sedih akhirnya menangis di depan sahabat-sahabatnya. Dia tidak menyangka pacar yang selama ini sangat dicintainya ternyata tega memutuskan hubungan mereka begitu saja. Namun, setelah mendengar alasan Ivan yang sudah merasa tidak nyaman lagi dengan dia, Ita akhirnya menerima keputusan itu dengan hati yang hancur.
Malam harinya, Ita yang masih stres dengan kenyataan yang menyakitkan itu mendadak jatuh sakit. Tubuhnya demam dan kadang dia menggigil. Dia berharap Ivan akan menghubunginya dan bilang kalau mereka tidak jadi putus. Tapi harapan itu, hanya menjadi harapan semata, karena tak satu pun SMS dari Ivan yang masuk ke hp-nya.
* * *
Sudah hampir seminggu Ita sakit, hingga akhirnya dia harus di rawat di rumah sakit. Tapi kondisinya belum juga membaik. Maag yang selama ini di deritanya ternyata sudah sangat parah hingga menimbulkan pendarahan. Dokter pun mengatakan kalau salah satu faktor yang menyebabkan penyakit Ita semakin parah adalah stres yang dialaminya hingga membuat kondisi tubuhnya menurun.
Gati, sahabat Ita yang paling mengerti keadaan Ita hanya bisa menatap iba tubuh sahabatnya yang sekarang terkulai lemah diatas tempat tidur. Wajahnya pucat dan tubuhnya semakin kurus. Gati sangat mengerti perasaan Ita yang merasa sangat kehilangan Ivan kekasihnya. Kadang samar-samar dia mendengar Ita menyebut nama Ivan dalam tidurnya, dan hal itu membuat Gati menangis, tak sanggup melihat penderitaan yang di rasakan oleh sahabatnya itu.
“Ta, gmn keadaan kamu sekarang?” tanya Gati ketika sahabatnya baru saja bangun.
“Alhamdulillah udah mendingan, udahlah nggak usah cemas gitu” jawab Ita, wajahnya terlihat pucat.
“Kamu masih mikirin Ivan, ya?”
“Maksud kamu?”
“Dari kemarin aku dengar kamu memanggil nama Ivan berkali-kali saat kamu lagi tidur. Kamu kepikiran dia lagi?” tanya Gati cemas.
“Iya, aku kangen sama dia. Apa dia menghubungiku?” jawab Ita.
“Setahu aku, sih, belum ada SMS ataupun telepon dari dia. Kenapa?”
“Enggak apa-apa, cuma mau tahu aja dia peduli atau nggak” jawabnya, wajahnya terlihat sedih.
“Apa perlu aku telepon dia untuk kasih tahu keadaan kamu?”
“Enggak usah, aku nggak mau dikasihani sama dia.”
Gati hanya bisa diam mendengar jawaban sahabatnya itu. Rasa kagum dan sedih bercampur di hatinya. Kagum akan ketegaran sahabatnya itu, tapi sedih melihat penderitaan yang harus dialami Ita. Gati tahu di saat sakit seperti itu, pasti Ita ingin Ivan ada bersamanya, dan nggak meninggalkannya seperti ini.
Hampir tiga minggu Ita di rawat di rumah sakit, dan selama itu juga Gati selalu memperhatikan perkembangan kesehatan sahabatnya itu. Setiap kali Ita merasa sakit di tubuhnya ataupun tubuhnya demam, Ita selalu mendengarkan sebuah lagu ciptaan Ivan, mantan kekasihnya. Dan seperti mukjizat, keadaan Ita perlahan membaik setelah mendengar lagu itu. Gati akhirnya mengerti kerinduan Ita pada Ivan sangatlah besar hingga menyiksa seluruh tubuhnya bukan hanya hatinya.
Hingga suatu hari, tanpa sepengetahuan Ita, Gati menelpon Ivan yang ada di luar kota. Dia menceritakan keadaan Ita pada cowok itu, dan dia juga meminta Ivan untuk datang menemui Ita. Tapi, Ivan masih belum juga mau menemui Ita.
“Aku mohon sama kamu, Ita butuh kamu. Tolong datanglah ke Jakarta dan temui Ita walaupun hanya sebentar” ucap Gati.
“Aku belum bisa menemui dia, lagipula kehadiranku malah bisa membuat dia semakin sakit” jawab Ivan.
“Satu kali saja, tolong temui dia. Mungkin dengan bertemu denganmu dia bisa sembuh. Atau kamu akan menyesal” paksa Gati.
“Apa maksud kamu? Memang penyakitnya itu parah?”
“Datang dan lihatlah sendiri keadaan Ita sekarang. Sebelum kamu menyesal untuk selamanya” ucap Gati sebelum mengakhiri teleponnya.
* * *
Beberapa hari setelah telepon itu, Ivan mengabari Gati kalau dia akan ke Jakarta untuk menemui Ita. Gati yang mendapat kabar menggembirakan itu langsung menemui Ita. Tapi sayangnya Ita sedang tidur saat itu. Gati hanya bisa menunggu, sampai Ivan tiba di Jakarta dua hari lagi.
Hari itu akhirnya tiba juga. Ivan, orang yang selama ini di tunggu kedatangannya oleh Ita dan Gati akhirnya datang. Dia meminta Gati mengantarkannya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Ivan terdiam melihat keadaan gadis yang ada di kamar rawat itu. Sosok yang selama ini tidak pernah di jumpainya, kini dilihatnya dengan kondisi yang memprihatinkan. Selang infus terpasang di tangannya, matanya terpejam, tapi di kedua telinganya terpasang headset agar Ita bisa selalu mendengarkan lagu musik yang bisa menenangkan.
“Dia hanya sedang tidur. Tunggu saja, sebentar lagi juga dia bangun” ucap Gati yang berdiri di belakang Ivan.
“Sudah berapa lama dia seperti ini?” tanya Ivan, dia mulai berjalan mendekati tempat tidur Ita.
“Hampir satu bulan dia terbaring di tempat tidur itu. Sekarang coba kau dengar lagu yang sedang di dengarkan Ita” ucap Gati sambil melepas satu headset itu dan memberikannya pada Ivan.
Ivan terkejut ketika mendengar lagu itu, lagu yang pernah dia ciptakan untuk Ita dulu. Dia tidak menyangka gadis itu masih menyimpan rekaman lagu itu. Kedua matanya menatap wajah Ita yang tertidur.
“Itulah yang membuat Ita bertahan selama ini. Itu yang dia lakukan bila sedang merindukanmu. Suaramu yang sangat dia rindu” ucap Gati.
Ivan yang masih merasa terkejut perlahan memegang tangan Ita, kedua matanya tak lepas dari wajah Ita. Terlihat masih ada kasih sayang yang dalam dari tatapan itu. Tiba-tiba tangan yang di pegang Ivan bergerak, Ita bangun dari tidurnya. Dan dia terkejut ketika ada seorang cowok duduk di sampinya sambil memegang tangannya.
“Tenang, Ta. Dia Ivan, orang yang selama ini kamu rindu” ucap Gati.
“Ivan? Kenapa bisa ada disini?” tanya Ita yang masih terkejut.
“Maaf, ya. Aku yang menelpon dia dan meminta dia untuk datang menjengukmu. Karena aku nggak tega melihat kamu seperti ini terus.”
“Kenapa kamu bisa sampai kayak gini? Kenapa kamu nggak menjaga kesehatanmu?” tanya Ivan yang masih tetap menatap wajah Ita.
“Itu bukan urusanmu” sahut Ita sambil melepaskan genggaman Ivan.
“Waktu itu kamu kan udah janji, bisa terima keputusanku untuk mengakhiri hubungan kita, dan berjanji akan baik-baik saja. Tapi kenapa sekarang kamu kayak gini?”
Ita hanya diam dan memalingkan wajahnya dari Ivan. Sementara Ivan masih terus berbicara pada Ita. Gati yang melihat itu hanya berharap keadaan Ita akan membaik setelah bertemu Ivan. Dan ternyata benar, setelah berdebat cukup lama akhirnya Ita dan Ivan mulai akrab kembali. Wajah Ita yang tadinya pucat juga mulai berubah cerah.
Pertemuan antara Ita dan Ivan terus berlangsung selama seminggu, dan selama itu keadaan Ita berangsur membaik. Suatu hari, Ita ingin pergi ke pantai bersama Ivan, dia ingin melihat sunset bersama orang yang di cintainya. Walaupun awalnya dokter, orang tua Ita, dan Ivan tidak setuju, tapi demi kesembuhan Ita, akhirnya mereka menyetujui permintaan Ita itu. Dan pergilah mereka berdua ke pantai untuk melihat sunset.
Di pantai itu, Ivan menyanyikan lagu yang baru di buatnya untuk Ita. Lagu yang liriknya adalah ciptaan Ita, dulu dia pernah meminta Ivan untuk menciptakan lagu dari lirik yang dibuatnya. Dan kini lagu itu telah selesai dan Ivan menyanyikannya secara langsung untuk Ita.
Keadaan yang sangat romantis itu membuat Ita bahagia. Berkali-kali dia tersenyum dan tertawa saat bersama Ivan. Kebahagiaan yang entah akan bertahan sampai kapan.
“Aku bahagia banget hari ini, karena bisa pergi sama kamu, tertawa dan melihat sunset bersama kamu. Dan yang lebih membahagiakan, aku bisa mendengar lagu itu secara langsung” ucap Ita sambil memandang langit.
“Aku juga senang bisa jalan sama kamu. Makanya kamu harus cepat sembuh, nanti kita bisa jalan-jalan lagi” sahut Ivan.
“Iya. Rasanya aku nggak ingin ini berakhir, aku ingin terus bersama kamu. Bahagia seperti ini.”
Ivan hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Ita. Lalu mencium kening Ita dengan lembut. Ita yang terkejut hanya bisa menatap Ivan, lalu tersenyum.
“Aku sayang kamu. Cepat sembuh, ya” ucap Ivan.
Air mata mengalir dari mata Ita. Suasana mengharukan itu terlihat sangat membahagiakan. Setelah itu mereka kembali ke rumah sakit karena Ita masih harus di rawat.
* * *
Sebuah kabar mengejutkan membuat Ivan dan Gati datang ke rumah sakit lebih pagi dari biasanya. Keadaan Ita yang belakangan ini mulai membaik, tiba-tiba drop. Semua dokter dan perawat sibuk mengatasi keadaan itu. Sedangkan Ivan, Gati dan keluarga Ita hanya bisa menunggu dan berdoa dari luar ruang ICU.
Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya dokter membolehkan mereka untuk masuk ruangan itu dan melihat kondisi Ita yang sudah sadar. Wajah gadis itu semakin pucat dan tubuhnya dingin. Tapi dia masih tersenyum saat melihat keluarga dan dua orang yang berharga baginya itu masuk ke kamarnya.
“Kamu nggak apa-apa kan, sayang?” tanya orang tua Ita.
“Aku baik-baik aja kok, Bu” sahut Ita yang masih lemah.
“Ivan, aku mau mendengar kamu menyanyi. Tolong nyanyikan lagu itu sekarang. Aku mau dengar” ucap Ita dengan suara yang hampir seperti bisikan.
“Nanti saja, sekarang kamu istirahat dulu” sahut Ivan.
“Aku mau mendengarnya sekarang. Aku lelah, ingin istirahat. Aku ingin mendengar lagu itu untuk menemani tidurku.”
“Nyanyikan saja” ucap Ibu Ita.
Akhirnya Ivan menyanyikan lagu yang ingin di dengar Ita itu. Tangannya menggenggam tangan Ita yang dingin, Ita juga menggenggamnya dengan erat seperti tak mau lepas lagi. Perlahan matanya terpejam dan akirnya dia tertidur. Tapi bukan tidur biasa, karena monitor yang menunjukkan gerakan jantung Ita perlahan berhenti, hingga akhirnya sebuah garis muncul di monitor itu. Dan tak ada lagi pergerakan grafik detak jantung Ita. Ivan yang dari tadi menggenggam tangan Ita merasa tangan Ita perlahan melepas genggamannya.
Mereka terus memanggil Ita, tapi dia tidak juga membuka matanya. Dokter juga sudah mengatakan kalau Ita telah pergi untuk selamanya. Air mata seperti tak bisa berhenti mengalir dari mata keluarga, Gati dan Ivan. Mereka tidak menyangka, Ita yang mereka kira akan segera sembuh ternyata meninggalkan mereka secepat itu.
Begitu juga Ivan, dia tidak mengira kalau lagu yang dia nyanyikan itu adalah lagu terakhir untuk Ita. Sebelum wajah Ita di tutupi kain putih, Ivan mencium kening gadis yang pernah di cintainya itu dengan lembut.
“Selamat jalan, sayang. Maafkan aku yang telah membuatmu seperti ini. Semoga kau tenang disana.”
**CERPEN REMAJA “Lagu Terakhir Untuk Ita” oleh Nita Widya Ratna

Akhirnya Kini Aku Mengerti

Namaku Shelli, siswa kelas X SMA yang masih terlalu dini mengenal istilah cinta. Aku mengenal dengan istilah cinta saat duduk di bangku kelas tiga SMP. Belum terlalu paham tentang cinta, sebegitu mudahnya aku mempermainkan cinta saat itu, tanpa sedikitpun memikirkan perasaan pasanganku. Awal masuk SMA, aku menjalin suatu hubungan dengan kakak kelasku. Aku kelas X, sedangkan dia kelas XII sekali lagi aku hanya bermain-main dengan cinta tanpa serius memikirkan perasaannya yang telah tersakiti karena kelakuanku.
Putus dari dia aku mengenal dengan sesosok lelaki muda, kebetulan dia juga kakak kelasku, tepatnya kelas XI, Riko namanya. Sebelumnya aku benar tidak tertarik sama sekali menjalin hubungan lagi, bosanlah istilahnya, tak ada yang menarik saat ku menjalin hubungan. Awal perkenalan kami juga tidak begitu menarik, dan aku pun tak menganggap Riko sama sekali. Tapi rasa itu langsung berbeda ketika aku pertama kali melihat dirinya.
“Shel, itu lo yang namanya Riko” gertak Dani, salah seorang temanku yang ketika itu kami sedang duduk santai didepan kopsis sambil berbincang. Aku langsung menoleh ke arah lelaki muda itu, dan itulah awal aku tahu Riko secara langsung.
“Benarkah itu Riko?” tanyaku kepada Dani tanpa memalingkan pandanganku ke arah Riko.
“Iya benar, itu Riko !” Jawab Dani sambil memakan jajan yang baru saja ia beli.
“Gila, Benar-benar gila. Ganteng banget ternyata” gumamku di dalam hati dan masih terpesona melihatnya. Sesampainya di rumah, aku pun tak henti-henti kepikiran wajah si Riko.
“Kenapa ini, aku tak bisa berhenti memikirkan lelaki itu. Biasanya aku juga tak pernah seheboh ini” pikirku sangat aneh sambil berkali-kali aku memandangi handphone berharap ada SMS masuk dari Riko. Sungguh aneh, yang tadinya aku tak tertarik sama sekali, sekarang malah berharap lebih sama Riko.
“Ada SMS !” teriakku. Langsung ku buka SMS itu dan benar, itu SMS dari Riko. Akupun sangat kegirangan. Itulah awal mula aku bisa serius menjalin hubungan dengan pasangan, sungguh berbeda dengan pasangan-pasanganku sebelumnya.
Dan inilah waktu yang aku tunggu, waktu dimana aku dan Riko jalan bareng. Sebelumnya kami memutuskan untuk nonton, tapi berhubung waktu telah terlewatkan, kami akhirnya menuju ke sebuah tempat yang begitu indah. Udara yang begitu sejuk, suasana tenang, burung-burung bernyanyi, rumput hijau menari dan genangan air yang membentang luas adalah sebagian kecil dari pancaran indah tempat ini. Di tempat ini kami saling bercerita tentang kehidupan kami, tak terasa pula sore telah datang menjemput.
“Aku boleh ngomong serius sama adek ?” tanya Riko begitu serius memandangku.
“Boleh kak, silakan !” dengan sedikit gugup aku menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba Riko menggenggam tanganku. “duuh gila, mau ngapain ni anak” gumamku dalam hati.
“Maukah adek jadi pacarku ?”
Seketika perasaanku langsung campur aduk antara senang dan bingung.
“Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu sekarang kak. Kita juga belum lama kenal” Jawabku menutupi rasa bingung yang sedang bersemayam di otak dan hati.
“Tapi aku sudah menganggapmu jadi pacar dek dari dulu” bujuk Riko seperti mengharapkan jawaban berbeda dariku. Sungguh tak kuasa aku melihat pandangannya, ingin memalingkan pandangan darinya, tapi kepala ini bagai ditahan oleh batu besar.
“Ya sudah, aku mau”
“Benarkah ? Terimakasih adek” Sambut Riko dengan muka kegirangan.
Akhirnya aku telah mengerti indahnya menjalin hubungan waktu bersama Riko. Apakah ini sesuatu yang dinamakan cinta, sesuatu yang dulu selalu aku anggap membosankan dan tidak mempunyai arti sama sekali. Awalnya aku begitu bahagia, aku selalu membanggakannya, tapi tidaklah mudah menjalani hubungan dengan Riko. Banyak kabar burung tentang Riko, entah karena Riko adalah salah seorang anak yang dikenal di sekolah, atau karena dia mempunyai banyak mantan pacar di sekolah, yang pasti kabar itu sungguh tak bersahabat di telingaku saat itu, Banyak kabar burung yang mengatakan bahwa Riko itu playboy, Riko itu anak yang tidak baik, dan sebagainya. Berbagai cara aku lakukan untuk selalu percaya pada Riko, karena aku yakin Riko yang aku kenal bukanlah tipe orang yang seperti itu. Begitu juga dengan Riko, dia menyarankanku untuk tidak percaya kepada kabar burung tentang dirinya.
Suatu hari, ketika kenaikan kelas. Aku kebetulan sekelas dengan salah seorang yang telah mengenal Riko dari SMP, dia adalah Sinta, sahabat dari dua mantan pacar Riko.
“Hai !” sambutku padanya.
“Hai juga, kamu pacarnya Riko yang baru ya?”
Aku hanya membalasnya dengan senyum, walaupun pertanyaan Sinta begitu biasa, tentu aku merasa sedikit tersinggung. Sinta adalah tipe orang yang mudah bergaul, walaupun kami baru kenal, tapi dia sudah sangat akrab denganku, Sinta pun tidak segan untuk berbicara tentang masa lalu Riko kepadaku. Aku begitu terkejut ketika Sinta berbicara bahwa Riko adalah seorang yang playboy, dan salah satu mantannya itu adalah wanita yang tidak baik. Sungguh berbanding terbalik dengan semua cerita Riko yang sesungguhnya.
Saat itu kondisi otak dan hatiku sungguh tidak stabil, aku bingung harus percaya sama siapa lagi, apakah aku harus percaya sama teman-temanku yang jelas-jelas tidak hanya seorang yang menyatakan bahwa Riko tidak sebaik yang aku kira atau apakah aku harus percaya sama Riko dan mempercayai bahwa tidak mungkin orang sebaik Riko mempunyai sifat seperti itu. Sungguh hatiku tak tenang dengan semua ini. Ini adalah puncak rasa ragu-raguku terhadap Riko, tapi untuk kesekian kalinya, Riko bisa menenangkanku dan akhirnya aku tahu harus percaya pada siapa waktu itu.
Keesokan hari setelah aku berhasil menenangkan pikiranku ada SMS dari seorang sahabatku, Candra.
“Kamu masih pacaran dengan Riko ?” bunyi SMS dari Candra.
“Iya, kenapa ?” Balasku
“Nanti kerumahku ya, ada yang mau aku omongin, penting !”. Melihat balasan dari Candra, aku merasa terkejut. Tidak seperti biasanya dia bilang seperti itu dan mengurusi urusanku dengan pacarku.
Tanpa pikir panjang aku langsung memanasi motor, dan bersiap ke rumah Candra tanpa meminta izin pada Riko. Sesampainya disana ternyata tidak hanya ada Candra seorang, tetapi Ayu juga ada disana. Mereka berdua adalah sahabatku dari kelas satu SMP. Aku terkejut melihat wajah mereka yang begitu serius memandangiku.
“Ada apa emangnya, wajah kalian serius banget seperti menghadapi ulangan fisika” aku berusaha membuka perbincangan.
“Kamu masih pacaran dengan Riko ?” tanya Ayu dengan penasaran.
“Masih, memangnya kenapa sih ? kalian membuatku penasaran dari tadi”
“Sebaiknya kamu putusin saja deh Riko itu” ujar Candra.
“loh, kenapa sih ? kok tiba-tiba kalian berbicara seperti itu ? biasanya kalian mendukungku jika aku menjalin hubungan sama orang ?”
“Iya, kami mendukung jika kamu bahagia, tapi apa kenyataanya ?”
“Aku bahagia kok, kalian tahu sendirikan kalau aku bahagia”
“sudahlah shel, kamu tidak perlu berbohong pada kita”
Aku mencoba menutupi perasaanku yang dari kamarin tak menentu, tapi apa daya, mereka telah lama mengenalku, aku tak bisa berbohong pada mereka, akhirnya aku terus terang dengan semua yang terjadi selama ini.
“Benar ternyata” ucap Candra mematahkan ceritaku.
“Benar kenapa Candra ?”
“Benar apa yang telah diceritakan Tika kepada kami”
Tika adalah mantan pacar dari Riko, yang kebetulan satu kelas dengan Candra maupun Ayu ketika kenaikan kelas XI. Candra mulai bercerita kepadaku tentang semua cerita yang telah diceritakan Tika kepada Ayu maupun Candra. Intinya, Riko selingkuh dengan Tika, seketika aku tak kuasa menahan air mata, kenyataan ini begitu menyakitkan bagiku. Selama ini orang yang ku percayai, orang yang ku banggakan ternyata mempunyai hati yang busuk, bahkan lebih busuk dari seekor kera. Emosiku sudah tak terkendali waktu itu, tanpa pikir panjang aku langsung mengambil keputusan untuk mengakhiri hubunganku sama Riko mulai detik ini. Awalnya Riko tak terima dengan keputusanku ini, tapi apa daya jika aku juga tak bisa percaya lagi sama Riko. Akhirnya dengan berat hati dia menerima keputusanku ini.
Bel pulang sekolah berdenting, ketika itu sebagian besar anak menyambutnya dengan senang, tapi tidak denganku. Riko menungguku di depan sekolah, pada waktu itu aku tak menganggapnya sama sekali, aku sudah terlanjur membencinya, rasa cinta yang aku harap berawal dan akan berakhir dengan kebahagiaan ternyata pudar ditengah jalan dengan alasan yang sangat memalukan. Berkali-kali Riko meminta maaf, tapi kata maaf pun sulit terucap dari bibir ini.
“Adek, maafkan aku. Aku tahu aku salah, ijinkan aku untuk terakhir kali ini mengantarkan adek pulang dan aku akan terima keputusan adek selanjutnya” Ucap Riko dengan raut wajah memelas. Jujur aku tak kuasa melihat raut wajah itu, aku ingin bisa memaafkan dan menerima dia kembali, tapi hati dan mulut ini sudah membeku untuk sebuah kata maaf terucapkan. Ketika itu pula aku berpikir, inilah saat yang tepat untuk melepaskannya, karena sudah beberapa hari ini Riko sama sekali tak pernah menyetujui keputusanku untuk mengakhiri hubunganku dengannya.
“Benar ? kamu bakalan terima keputusanku selanjutnya”
“Iya adek, aku akan terima keputusan yang adek berikan” Aku langsung menerima ajakan Riko mengantarkanku pulang untuk yang terakhir kalinya itu. Selama di jalan aku tak kuasa menahan air mata, hatiku begitu sakit apabila teringat perbuatannya selama ini. Riko berusaha menggenggam tanganku, tapi aku selalu menampiknya. Riko juga berusaha menenangkanku, tapi kata-katanya semakin membuatku tak kuasa menahan kesedihan.
“Aku mengerti aku salah selama ini, aku tidak bisa jadi yang terbaik bagi adek, aku telah mengkhianati adek, aku memang seseorang yang bodoh” Ucapnya dengan sesekali memandangiku dari sepion motor mionya. Aku tak sanggup untuk menjawab semua kalimat yang terucap dari mulut Riko dan air mata ini semakin tak tertahan, berkali-kali aku berusaha mengusap air mata dari kedua bola mata ini, menutupi kesedihan yang sedang melanda diriku dan mencapai pada titik puncaknya.
“Aku masih bolehkan main ke rumah adek, masih bolehkan jalan sama adek, masih bolehkan memanggil adek dengan kata sayang” sambil Riko meraih tanganku dan menggenggamnya.
Lalu dia berkata sambil menatapku melalui sepion motornya “Aku pesan sama adek, jaga diri adek baik-baik, jangan dengan mudah menerima orang yang sepertiku dalam hidup adek, itu tak pantas bagi orang sebaik adek” dan itulah kalimat terakhir yang Riko ucapkan kepadaku.
Sesampainya di rumah, ketika aku turun dari motornya, aku melihat kesedihan dan penyesalan dari kedua bola mata yang sebentar lagi meneteskan airnya. kesedihanku semakin tak tertahan, aku menangis, aku menyesal, dan aku baru sadar tentang arti cinta yang sesungguhnya. Disini aku terus berusaha berpikir positif atas kejadian ini. Aku yakin Tuhan tidak akan memberi cobaan apabila umatnya tidak mampu untuk menjalani dan keluar dari cobaan itu.
Akhirnya, kini aku mengerti cinta itu bukanlah sesuatu yang hanya dapat dibuat mainan semata, akhirnya, kini aku mengerti cinta itu tidak hanya datang dari ketampanan atau kecantikan, dan akhirnya, kini aku mengerti tidaklah baik jika kita terlalu membanggakan pasangan kita karena cinta. Aku mengerti atau tidak ? ternyata cinta itu selamanya tak selamanya mendatangkan kebahagiaan dalam hidup ini, melainkan juga akan mendatangkan kesedihan yang begitu mendalam. (elf)
**CERPEN CINTA ROMANTIS “Akhirnya, Kini Aku Mengerti” oleh Elfrida Chanda

Lantunan Cinta Sang Pecinta

LANTUNAN CINTA SANG PENCINTA

2009-02-23 17:33 Lantunan Cinta Sang Pencinta

oleh: Hanun Al-Qisthi

Lewat ekor mata, aku tau matanya yang sipit kecoklatan memandangku lagi. Tetap tajam namun lembut, seperti biasanya. Bibirnya terbuka hendak berkata-kata, namun mungkin rasa segan membuatnya terkatup lagi. Dengan handuk putih bertengger di bahu, ia membalikkan badan membelakangiku. Pergi. Aku diam sejenak lalu mengoleskan metal polish pada baritone kesayanganku, menggosoknya sampai berwarna hitam dan melapnya sampai bersih. Pantulan sinar dari tutsnya menandakan baritone ini selalu terawat dengan rapi. Irio dan Laode tersenyum iri padaku. Baritone mereka tidak pernah semengkilap milikku, padahal kami membersihkannya bersama-sama dua kali seminggu. “Ngiri ya? Hehehe… Nggosoknya yang bener dong , kan udah aku ajarin”, ujarku. Mereka hanya bisa memajukan bibirnya 2 cm.

“Murid lesnya masih banyak mbak Wina?”, si pemilik mata sipit sudah berdiri di depanku saat kudongakkan kepala. Senyumnya mengembang, memamerkan deretan gigi yang kecoklatan karena nikotin.

“Masih, Kak. Sekarang malah ada murid yang baru. Alhamdulillah…” Kumasukkan baritone ke dalam plastik pembungkus lalu meletakkannya dengan hati-hati ke dalam peti. Aku berlalu dari hadapannya tanpa kata-kata. Aku tau mulutnya terbuka lagi, namun aku segera berlari menyusul teman-temanku menuju gerbang kampus. Kugapai bahu Asma lalu tawa kami berderai seperti biasanya. Dari kejauhan kulihat ia melindungi wajahnya dari sorotan mentari senja. Pandangannya tertuju padaku.
*********

Aku sangaaaaat mencintai marchingband. Karena kecintaan itulah tiga hari kemudian aku tetap melangkahkan kaki ke kampus AKADEMI METEOROLOGI DAN GEOFISIKA. Padahal pakaian yang kukenakan bukan lagi training dan kaos olahraga kampus seperti biasanya. Hari itu adalah hari perdanaku memakai jilbab. Ya, baju kurung yang mengulur dari bahu sampai mata kakilah yang kukenakan. Kulihat puluhan pasang mata menatapku terpana saat aku memasuki ruang latihan. Apel pembukaan baru dimulai. Dengan rasa percaya diri yang kukumpulkan, kulewati puluhan tatapan sinis, merendahkan, dan mengucilkan itu. Teman-temanku seakan tak lepas melucutiku dari ujung kerudung sampai kaki. Mata sipit itu memandangku dengan tatapan tidak seperti biasanya, tapi aku tetap berjalan ke arahnya.

“Kak Wirawan, mulai hari ini boleh nggak saya latihan pake gamis?”, agak sedikit gemetar aku meminta izinnya.

“Ngapain pake gituan? mbak mau pindah kuliah ke Mekkah? ”, matanya membulat tanda tak setuju. “Mbak Wina aneh banget!”

Aku terkejut mendengar kata-katanya. Suara lembut dengan tatapan menyejukkan itu sudah tiada. “Ya sekarang pakaian saya di luar jam kuliah kayak gini Kak. Boleh gak saya tetap menjadi anggota Korps Marching Band AMG dengan pakaian seperti ini ??”. Kutinggikan nada suaraku pada pelatih alat tiup itu, aku mulai kesal dengan responnya. Apalagi teman-temanku mulai mengejekku dengan kata-kata yang membuat gatal telinga.

“Nggak boleh!! Kalo mau tetep latihan, tolong pake pakaian seperti biasa!!”, keputusan Kak Wirawan sudah terucap.

Kuhela nafas dalam-dalam,”Ya sudah Kak. Tolong cari peniup baritone untuk menggantikan posisi saya. Saya keluar!”

Gontai tapi pasti aku keluar dari ruangan itu. Kepalaku tertunduk. Hatiku tertohok oleh perasaan yang tak menentu. Air mataku mengalir, tapi sungguh, aku tak ingin mereka melihatnya.

“Win, Wina!!! Sebentar !” Teriakan Zakiy menahanku di pintu rektorat, “Kak Wirawan mau ngomong sebentar.” Kuikuti langkah komandan marchingband itu ke ruang tamu. Dari ruang latihan teman-teman antusias mencari tau apa yang terjadi. Mereka bergonta-ganti melongokkan wajah ke arah kami.

“Ada apa Kak?”, tanyaku singkat.

“Kenapa mbak Wina harus pake pakaian kaya gitu? Jangan ikut kaum ekstrem kanan, yang biasa ajalah ngejalanin hidup”, lelaki paruh baya itu menghisap tembakaunya dalam-dalam. Dia tampak bingung. Keringat tak berhenti mengalir dari dahinya. “Ini kan memang pakaian buat muslimah Kak. Saya tidak mau Allah enggan melirik saya karena saya tidak bersegera menjalankan perintahNya, padahal saya sudah tau itu. Saya lebih senang jika manusia yang membenci saya. Jadi tidak masalah kalau saya keluar dan dihujat, yang penting Allah ridha pada saya.”

Mata sipit itu bergerak kesana-kemari, mencari kata yang bijak untuk diucapkan, “Ya sudah, silahkan latihan lagi. Sulit untuk menemukan peniup baritone seperti mbak.” Ia menggilas puntung rokoknya dengan paksa. Aku tau ia menatapku sejenak sambil menelan kekecewaannya, lalu pergi tanpa berucap.
*********
Siang itu, di bawah panggangan matahari kami berlatih display untuk acara 17 agustus. Seminggu lagi kami akan tampil di BMG pusat. Semua atasan menunggu hari itu, karena kami akan tampil perdana. Sudah 4 jam wajah-wajah kami terbakar panasnya matahari Jakarta. Suara Mega sebagai field commander terdengar makin parau. Bibirnya pucat, wajahnya bias. Aku juga merasakan mulutku baal, mati rasa. Tapi senyum tetap merekah menghiasi bibir-bibir barisan horn line, percussion line dan colour guard. Kami bangga. Kamilah angkatan pertama Korps Marching Band AMG. Namun jauh di lubuk hati, rasa yang tak karuan itu makin terasa. Dan aku ingin segera menumpahkannya.

“Kak saya mau keluar marchingband”, ucapku pada para pelatih seusai latihan, termasuk Kak Wirawan. Bola mata mereka membesar. Lagi-lagi aku harus menjelaskan. Dan lagi-lagi aku harus menerima cacian dan hujatan. Namun niatan untuk tunduk pada hukum syara’ membuatku sangat berani menjawab dan melewati makian itu. Seluruh pelatih dan teman-teman menghujatku. Tidak ada yang bisa menerima bahwa alasanku keluar adalah karena aku tidak mau lagi berikhtilat, tasyabbuh, dan meninggalkan kewajiban berjilbab saat tampil. Aku keluar dari ruang latihan dengan iringan koor “Huuu..” dari teman-temanku. Bisa dibayangkan?? Teman yang sudah hampir tiga tahun bersama, dengan mudah membenciku hanya karena aku keluar marching band. Padahal aku melakukan itu karena aku mencintai Rabbku!

Mata sipit Kak Wirawan memandangku sayu. Dadaku sesak. Gerimis di hatiku makin deras. Sungguh aku sangat mencintai marchingband, alat tiupku, dan teman-temanku. Aku ingin tetap berlatih dengan bangga sebagai angkatan pertama Korps Marching Band AMG. Aku ingin sebuah lambang kehormatan tersemat pada seragamku. Dan terlebih karena aku ingin melihatnya. Melihat lelaki paruh baya itu dengan tatapan lembutnya. Melihatnya menantiku merapikan alat di ujung ruang. Menikmati tawa dan senyumnya yang selalu terkembang untukku.
********
Di sinilah aku sekarang, empat hari setelah hari itu. Berdiri melihat kawan-kawanku berlatih drumband dari luar pagar kampus. Mereka semua tetap mendiamkan dan menghujatku. Tak ada yang sadar aku memperhatikan mereka, karena bagi mereka aku tak lagi berguna. Di tanganku ada lembaran buletin yang siap kuedarkan. Aku akan mengopinikannya pada adik-adik kajianku, yang tengah bersemangat menyongsong kemuliaan islam di depan mata. Dari kejauhan kulihat Kak Wirawan tengah menatapku, aku tersenyum simpul. Bagaimanapun, lelaki dengan dua putra itu sempat menjadi bunga tidurku sampai sekian waktu. Langkah kaki membawaku menjauh dari sana, dari marching band, Kak Wirawan, dan hiruk pikuk dunia.

Kulabuhkan lantunan cinta ini hanya padaMu Ya Rabb, karena aku mencintaiMu lebih dari apapun…

    Sumber : www.islamuda.com

Cinta Itu Kamu

CINTA ITU KAMU

2009-02-11 16:59 oleh:Bungarevolusi

 Angin malam berhembus, menerawang kedalam pori-poriku. Langkah kecilku menyapu setiap jalan ditengah perkotaan.

"Hmmm,,,,,,,,,,,,," ku menghela nafas panjang. Sedari tadi ku berjalan tak sadar ku sudah berada jauh dari rumahku.

"ah,,,,,mau kemana aku? " aku bertanya tanya sendiri pada diriku. Sejenak fikiranku menerawang kesebuah percakapan tadi di telpon dengan kawanku. Ya ....kawan yang lama-lama mulai bersemai dihatiku.

"Assalamu'alaikum,,,hehehehe" itulah awal Adi menerima telpon atau menelpon. hm,,,,,Adi. Yah….. nama itu yang membawaku menulusuri perjalananku malam ini. Dia adalah seorang teman yang mulai bersemi dihatiku. Dia mulai mengisi langit-langit hatiku, warnanyapun berupa warni-warni pula.

"kumsalam...." jawabku, entah mengapa. setiap dia menghubingi aku, dunia serasa berubah menjadi warna warni pelangi. yang meneduhkan langit setelah hujan atau gerimis.

"gw ganggu ga? " pertanyaan polosnya mulai menggelitik telingaku.

“ya ampun…..gw mah ga akan pernah ke ganggu sama kehadiran lo Di” jawabku

“hehehehe,,,,,makasih yah Rai”

“ada ape nih?”

“ngga ada apa-apa sih cuma kangen aja ama suara lo!”

“Ou…yayaya, secara gitu bidadari emang wajib bin harus kalo dikangenin…hehehe”

“Huh…..penyakit PD lu kumat yah? Udah diminum belom obatnye?”

“Abis di! belum gw tebus lagi, maklum BBM naik lagi”

Aku dan hadipun tertawa sejadinya.

“Eh do’ain gw yah!” pinta Adi disela-sela tawa kami.

“Do’ain apa ?”

“Besok gw mau Khitbah Intan!”

Tak karuan rasanya hati ini, darah seolah naik keatas kepala. Aku menjadi pucat pasi.

“Oh yah? Serius lu?” Tanya ku gugup.

“Ya iyalah, masa becanda gw! Ini masalah serius non!”

Aku langsung terdiam, tertegun sejenak, tak terasa air dimataku menetes, beruraian tak terbendung lagi.

“Baguslah, eh udah dulu yah”

Tanpa basa basi aku langsung menutup telpon dari Adi. Dan inilah awal aku menelusuri perjalanan malam ini.

Sepertinya angin malam mulai menusuk kulit. Aku sangat suka berada ditengah keramaian malam jalanan. Suasana malam selalu membuat hatiku yang bergembira menjadi lebih gembira, dan menjadikan hatiku yang sedih sedikit bergembira. Lampu-lampu kota yang indah jika terlihat dari atas gedung, indah dimalam hari tapi bagai penyulut api disiang hari. Karena panasnya bumi dan sumpeknya isi bumi. Namanya juga kota.

Aku menghela nafas, selalu begitu, menghela nafas untuk mencegah dinding kantung air mata yang akan jatuh satu persatu. Tapi kali ini tak tertahan. Ah……..seharusnya aku bahagia temanku akan meminang seorang wanita sholehah seperti Intan walau aku tak pernah tau siapa dia, dan dimana. Sepertinya aku tak mau tau tentang “INTAN” itu. Tapi Ya Rabb, aku tetap manusia yang punya rasa, dan hati ini tidak bisa dibohongi.

Arlojiku selalu berlari berputar, waktupun tak kunjung usai, dia selalu berjalan dan akan terus berlari tak akan pernah berhenti semasa bumi masih dalam putaran porosnya. Dan hidup ini ? akan tetap kujalani walau hatiku remuk redam.

Aku melangkah pulang, sedikit gontai, tapi ku usahakan tetap tegar.

“Adi kan hanya temanmu Raiyah, teman biasa! Hanya teman Akrab” aku coba untuk menghibur kepiluanku dengan menasehati diriku sendiri.

Pukul 10 tepat aku masuk kerumah. Suasana sudah sunyi sepi, dan aku terhanyut dalam mimpi.



Hari bergulir kembali, pagi menyapa, dalam subuh kutergulai lemah, bersimpuh pada yang kuasa, memohon ketegaran diri yang hina, tetesan air mataku tak bisa ku bendung.

“Ya Rohman, aku ternyata benar-benar telah jatuh cinta padanya, hatiku luluh lantah dibuatnya, tak adalagi episode denganya”

Kutanggalkan mukenaku, kusapa pagi dengan hati yang teduh. Janjiku tak akan melirih padanya lagi.

“Pagi mah !” sapaan hangat untuk ibuku,

“Pagi, semalem pulang jam berapa ?”

Ternyata mamah selalu mengerti aku, beliau tau apa yang berkecamuk dalam benakku. Dan beliau juga tau apa obatnya. Yaitu kesegaran malam.

“Semalam mba Ririn telpon kamu tuh nenk!” mamah masih membolak balik secarik kertas, mungkin daftar belanjaan untuk hari ini.

“Oya?”

Masya Allah, begitu malu aku. Mengingat semua ini aku menjadi rapuh, aku merasa tak berdaya dihadapanNya. Itulah aku yang baru mengenal akan kesempuranaan islam, terlalu banyak khilaf yang ku sengaja. Astagfirullah.

Segera kuhubungi mba Ririn, mataku berkaca-kaca. Ah………, aku begitu cengeng!

Telponnya selalu sibuk, aku maklumi. Karena amanah da’wahnya begitu besar. Selalu kucoba beberapa kali dan nyambung! Alhamdulillah

“Assalamu’alaikum” kusapa seseorang disebrang sana

“wa’alaikumsalam, dek Raiyahkah?” Jitu memang tebakan mba Ririn.

“Iya mba kok tau?”

“Suaramu khas dek”

“Hehehe, semalem mencariku?”

“Iya, kemana kamu kemarin tak ikut kajian?”

“Oh….kemarin dikampus ada rapat dadakan! Memang sms ku tak sampai?”

“Nda ada sms darimu, kebanyakan juga dari suami mba!”

“Weleh, ngga usah diomong juga kudah tau kali mba, pengantin baru toh! Hehhehe!”

“dasar! Ya wis,,rapopo. Jadi gimana bisa nda ketemu hari ini?”

“insya Allah, jam berapa ?”

“Ba’da Zuhur!”

“Ok! Dirumah mba?”

“Yah!”

“Ya wiss, sudah dulu yah mba. Assalamu’alaikum!”

“wa’alaikumsalam. Ditunggu ya dek”

“OK!”

KLIK

Telponpun tertutup, aku merenung dan ingin sekali aku berteriak. Tapi lebih baik kunanti malam yang akan menjadi kesaksian kesedihanku.

Tiba dirumah mba Ririn aku langsung memeluknya, dipelukkanya aku merasa nyaman, serasa aku berada di tengah lautan dan duduk disudut perahu. Mba Ririn adalah orang yang selalu mengerti aku, keluh kesahku, riang tawa ku. Dia tau segalanya tentang aku, dan rasa ini? Tak bisa kusembunyikan darinya. Kuceritakan semua keluh kesahku karena Adi, dan tanpa malu aku bilang aku begitu mencintainya.

“Begitulah cinta, dan syaiton bermain. Dalam hati yang ingin kamu keruh untuk dijadikan sejernih air Zam-Zam banyak sekali godaan yang akan kamu pikul. Salahmu, kau menanggalkan hukum syara’ ketika bergaul dengannya, tidakkah kamu malu pada Allah? Perasaan itu akan muncul anpa diminta dan tanpa di undang, dia akan datang dengan seenaknya lalu pergi begitu saja meninggalkan diri tanpa memandang luka dihati, dan itulah cinta. Kembalikan semuanya kepada Allah, Tetapkan hatimu untukNya”

Bagai embun yang menetes didedaunan ketika kesejukan pagi bernyanyi. Begitu yang kurasakan saat mba Ririn mulai bermain lincah dengan tausyiahnya. Hatiku menjadi tenang, galau sudah meredam. Ku teguk air yang disediakan, untuk menahan titis air mataku, tapi tetap saja aku tak mampu membendungnya.

“Menangislah, suamiku juga nda ada dirumah!”

Cetus mba Ririn sambil berlalu kekamarnya. Mengambilkan satu kotak tisyu untukku, untuk mengapus air mata ini.

“Terima kasih mba”

Mba Ririn hanya tersenyum menggelitik, aku memandangnya penuh Tanya!

“Dasar yah anak muda, makanya! Kenapa Allah menyeru kita untuk segera menikah ketika sudah siap atau berpuasa kalau belum siap. Ya inilah. Ada-ada aja cerita tentang cinta”

Aku hanya meringis, entah ikatan apa yang memeprsatukan kami sehingga tak ada batasan malu diantara aku dan mba Ririn.

“Sudah Adzan Ashar, sedang sholah?” Tanya mba Ririn

“Iya”

“Ambilah wudhu, mintalah padaNya jalan yang terbaik untuk menyelesaikan masalahmu ini. Serahkan semua ini pada Maha dari segala maha, kuasailah dirimu. Jangan pernah syaiton asik berkeliaran tak tentu dalam sini” mba Ririn menunjuk tepat ke arah jantungku berdetak. Aku hanya bias mengedipkan kedua mataku.

Setelah selesai wudhu dan sholat, kulihat mba Ririn tampak rapih.

“Mau pergi yah mba?”

“Iya!”

“Oh….!”

“Mau ikut?”

“Kemana?”

“Kerumahmu!”

“Kerumahku?”

“Iya!”

“Ah….mba ini jangan ngarang! Aku kan ada disini, mau ngapain kerumahku. Oh…mau main ketemu sama mamah?”

“Ngga!”

“terus?”

“Ayo kita berangkat kerumahmu!”



Dalam perjalanan aku bingung dan bertanya-tanya.

“ada apa sih mba?”

“Ngga ada apa-apa kok!”

Aku mulai memendam kecurigaan, biarkan aku bertanya pada diri sendiri.

Tiba dirumah beberapa orang sedang berkumpul, kulihat suami mba Ririn menyapa mba Ririn. Aku terheran, seperti keledai yang sedang dibodohi seekor kancil. Terdiam, termangu, Melongo, dan perasaan aneh berkecamuk.

“Hai Rai!”

Aku begitu kaget melihat Adi ada dirumahku.

“Assalamu’alaikum, hai….”

“Oh…iya lupa, wa’alaikumsalam!”

“Masuk-masuk” perintah Adi padaku.

Wah………apakah dunia sudah mulai terbalik? Yang punya rumah seperti tamu yang baru pertama kali datang kerumah tersebut. Aku mengikuti perintah Adi dan mba Ririn serta suaminya. Ada apa gerangan.

“Kenalin, nih orang tua gw. Ini mamah gw” Tunjuk Adi pada salah satu wanita tua disudut kiri ruang tamu.

“Ini papah gw!”

“Hus….sama calon istri kok gw-gw sih ngomongnya”

Hah? Calon istri? Makin bingung saja aku dibuatnya.

“Iya…..Intan itu Kamu, dan Cinta itu kamu!”

Entah rasa apa yang ada saat ini, pelangi berawankan Guntur. Mungkin lebih Tepat untuk menghiasi hari ini. Dan mba Ririn diam diam berkonspirasi!

Sumber : www.islamuda.com

Seorang Gadis Itu..

Seorang Gadis Itu....

Seorang gadis itu...

Yang lembut fitrah tercipta, halus kulit, manis tuturnya, lentur hati ... tulus wajahnya, setulus rasa membisik di jiwa, di matanya cahaya, dalamnya ada air, sehangat cinta, sejernih suka, sedalam duka, ceritera hidupnya ...


Seorang gadis itu ...

hatinya penuh manja, penuh cinta, sayang semuanya, cinta untuk diberi ... cinta untuk dirasa ...

namun manjanya bukan untuk semua, bukan lemah, atau kelemahan dunia ... ia bisa kuat, bisa jadi tabah, bisa ampuh menyokong, pahlawan-pahlawan dunia ... begitu unik tercipta, lembutnya bukan lemah, tabahnya tak perlu pada jasad yang gagah ...

 

Seorang gadis itu ...

teman yang setia, buat Adam dialah Hawa, tetap di sini ... dari indahnya jannah, hatta ke medan dunia, hingga kembali mengecap ni�matNya ...


Seorang gadis itu ...

bisa seteguh Khadijah, yang suci hatinya, tabah & tenang sikapnya, teman lah-Rasul, pengubat duka & laranya ... bijaksana ia, menyimpan ílmu, si teman bicara, dialah Òishah, penyeri taman Rasulullah, dialah Hafsah, penyimpan mashaf pertama kalamullah ...

 

Seorang gadis itu ...

bisa setabah Maryam, meski dicaci meski dikeji, itu hanya cerca manusia, namun sucinya ALLah memuji ... seperti Fatimah kudusnya, meniti hidup seadanya, puteri Rasulullah ... kesayangan ayahanda, suaminya si panglima agama, di belakangnya dialah pelita, cahya penerang segenap rumahnya, ummi tersayang cucunda Baginda ... bisa dia segagah Nailah, dengan dua tangan tegar melindung khalifah, meski akhirnya bermandi darah, meski akhirnya khalifah rebah, syaheed menyahut panggilan Allah.

Seorang gadis itu ...

perlu ada yang membela, agar ia terdidik jiwa, agar ia terpelihara ... dengan kenal Rabbnya, dengan cinta Rasulnya ... dengan yakin Deennya, dengan teguh áqidahnya, dengan utuh cinta yang terutama, Allah jua RasulNya, dalam ketaatan penuh setia . pemelihara maruah dirinya, agama, keluarga & ummahnya ...



Seorang gadis itu ...

melenturnya perlu kasih sayang, membentuknya perlu kebijaksanaan, kesabaran dan kemaafan, keyakinan & penghargaan, tanpa jemu & tanpa bosan, memimpin tangan, menunjuk jalan ...

 

Seorang gadis itu ...

yang hidup di alaf ini, gadis akhir zaman, era hidup perlu berdikari ... dirinya terancam dek fitnah, sucinya perlu tabah, cintanya tak boleh berubah, tak bisa terpadam dek helah, dek keliru fikir jiwanya, kerna dihambur ucapkata nista, hanya kerana dunia memperdaya ... kerna seorang gadis itu, yang hidup di zaman ini ... perlu teguh kakinya, mantap iman mengunci jiwanya, dari lemah & kalah, dalam pertarungan yang lama ... dari rebah & salah, dalam perjalanan mengenali Tuhannya, dalam perjuangan menggapai cinta, ni�mat hakiki seorang hamba, dari Tuhan yang menciptakan, dari Tuhan yang mengurniakan, seorang gadis itu ... anugerah istimewa kepada dunia!

 

Seorang gadis itu ...

tinggallah di dunia, sebagai ábidah, dahípayah & mujahidah, pejuang ummah ... anak ummi & ayah, muslimah yang solehah ... kelak jadi ibu, membentuk anak-anak ummah, rumahnya taman ilmu, taman budi & ma�rifatullah ...



Seorang gadis itu ...

semoga akan pulang, dalam cinta & dalam sayang, redha dalam keredhaan, Tuhan yang menentukan ... seorang gadis itu dalam kebahagiaan! Moga lah-Rahman melindungi, merahmati dan merestui, perjalanan seorang gadis itu ... menuju cintaNYA yang ABADI.

( Rudi Al-Farisi )

Engkau yang Malam ini Terluka

Engkau yang malam ini terluka
oleh pengabaian, yang harapanmu ditepis
seperti perca usang,

Kesinilah.

Duduklah di sini bersamaku.

Jika hatimu gamang di ambang tangis,
ijinkanlah ia menangis tulus.

Sesungguhnya,
airmatamu adalah doa penghubung hatimu
yang dibisukan oleh pilunya pengabaian,
dengan perhatian Tuhan.

Wajah yang pasrah kepada Tuhan
adalah wajah yang terindah.

Tuhan akan menyelamatkanmu.

Aamiin

oleh: Mario Teguh

cerpen: Kau Menghujaniku dengan Seribu Nikmat

Jam 3 pagi, aku terjaga dari tidur nyenyakku. Kulihat Nida masih pulas di sampingku. Aku tak membangunkannya karena aku tahu Nida sedang berhalangan untuk shalat. Lalu aku beranjak dari tempat tidur dan kubuka pintu. Semua masih terlelap tidur, sepi. Kemudian aku berjalan ke halaman belakang, aku berwudhu dengan air dingin yang mengalir dari kran. Alhamdulillah Ya Allah Engkau masih memberiku nikmat berwudhu. Kulewatkan pagi itu dengan sujud2 panjangku. Aku begitu merindukan-Mu Wahai Kekasihku. Ampuni segala dosa2ku.
Tenangnya hati ini saat bercengkerama dengan-Mu. Kutumpahkan segala keluh kesahku. Kuceritakan semua galau di hatiku. Kusyukuri atas nikmat dan karunia-Mu yang tiada terkira. Ya Allah, jika Engkau berkenan maka ijinkan hamba untuk segera menunaikan sunah Rasul, menggenapkan separo din. “Mbak, ada teman Bang Arul yang minta dicariin istri.
” Suatu hari Nida berkata sambil menjatuhkan diri di kasur. Bang Arul adalah satu2nya kakak Nida yang telah menjadi guru di SMA Insan Kamil dan juga aktif menjadi pengurus Pesantren Al-Qalam letaknya tak jauh dari kampusku. Aku yang sedari tadi asik mengutak-atik data penelitian langsung memutar kursi dan menatapnya. “Trus?” Kataku. “Ya trus Mbak mau ga? Kalo Nida kan belum pengen nikah dulu jadi Nida tawarin aja ke Mbak.” Nida memang teman sekamar sekaligus sahabat yang paling akrab denganku. Kuanggap dia seperti adikku.
Aku mengenal Nida saat sama2 menjadi pengurus Dewan Kerja Masjid Al-Bahri. Saat itu kerudung Nida masih mini tapi sekarang sudah terjulur indah menutup auratnya. Alhamdulillah! Dia banyak bertanya padaku. Mesti ilmuku juga dangkal tapi aku selalu berbagi tentang apa yang aku tahu dengannya. Jika ada yang kami berdua tak mengerti maka kami akan menanyakannya pada murobbi yang memimpin liqo yang rutin diadakan setiap jumat ba’da dhuhur di aula masjid Al-Bahri. Kadang2 Nida juga bertanya pada Abangnya dan kemudian berbagi pengetahuan yang didapatnya denganku. Memang beberapa hari terakhir aku memikirkan tentang menikah tapi aku belum mengungkapkannya pada siapa pun dan sekarang aku sudah mendapatkan tawaran. Aku terdiam sejenak. Ada perasaan takut merasuk dalam kalbu.
Ya ALLAH ampuni dosa2 hamba. Tiba2 kenangan pahit di masa lalu kembali berputar di otakku. “Mbak, kok malah bengong sih?” Nida berujar mengagetkanku. Kuhela nafas dan kujawab dengan sebuah senyuman dan anggukan. Aku ini memang bukan yang terbaik tapi aku akan terus berusaha untuk menjadi lebih baik. Ya Rabbi… Nida mengulurkan sebuah amplop yang langsung kubuka. Di dalamnya terdapat CV dan sebuah foto. Segera kubaca dengan cermat. Namanya Muhammad Bin Sofyan. Saat ini sedang menyelesaikan study di Universitas Al-Azhar Kairo, jurusan Syariah Islamiyah. Di bawah kulihat ada tulisan “NB: afwan ukhti, jika tidak keberatan, saya ingin berdiskusi dengan ukhti melalui YM” dan di sampingnya terdapat sebuah ID YM yang aku yakin adalah miliknya.
Rupanya Sofyan mengirimkan CV tersebut melalui email lewat Bang Arul dan Bang Arul berbaik hati mencetaknya untuk diberikan kepadaku. Hari itu juga, kukirimkan sebuah email jawaban untuk Sofyan dan mengabarkan bahwa aku menerima ajakannya untuk berdiskusi melalui YM 3 hari yang akan datang jam 10.00 WIB. Itu berarti jam 6.00 waktu Cairo. Tak lupa aku juga mengirimkan CV beserta fotoku. Bismillahirrahmaanirrahiim. Ya ALLAH jika sekiranya Engkau mengijinkan hamba untuk bertaaruf dengannya, lindungilah kami dari kemudharatan. Jantungku deg2an memikirkan apa yang harus kukatakan nanti jika berdialog dengan Sofyan.
Haruskah aku menceritakan semuanya pada Sofyan? Bagaimana jika dia menghentikan proses taaruf ini sedangkan aku sudah terlanjur berterus terang padanya? Ya ALLAH, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menyimpannya ataukah mengatakan sejujurnya? Duhai Kekasihku, ampuni aku. Istikharah kulakukan untuk memantapkan langkah. Sungguh aku ini lemah dan tak berpengetahuan. Hanya Engkau Wahai Pujaanku Yang Maha Tahu segala yang tersembunyi. Sekiranya dia baik bagi hamba dalam agama hamba dan dalam penghidupan hamba maka anugerahkanlah dia untuk hamba. Mudahkanlah jalan ini dan berikanlah keberkahan bagi hamba di dalamnya. Jadikanlah hamba orang yang rela atas anugerahmu. Seusai shalat dhuha, kutemui Sofyan melalui YM. “Assalamualaikum wr. wb.” Sofyan lebih dulu menyapaku. “Waalaikumsalam wr. Wb. Khaifa haluka, akhi?” Kujawab salamnya. “Alhamdulillah bilkhair, wa anti?” dia balik bertanya. “Alhamdulillah ana toyib.” Sedikit ketakutanku tiba2 meleleh.
Ya ALLAH jika memang dia baik untukku maka mudahkan lisanku ini untuk menyampaikan apa yang harus diketahuinya. Aku telah menghabiskan malam2ku untuk meminta ampunan dan petunjuk-Mu Ya Rabb. Tiga puluh menit telah berlalu dan telah banyak yang kami diskusikan. Jantungku kembali berpacu dengan cepat. Inilah saatnya. Aku tidak mau menunda lagi. Biarlah jika dia mengurungkan niatnya untuk menikah denganku. Lebih baik sekarang dari pada nanti ketika sudah terlambat untuk mengakuinya.
Bismillahirahmaanirrahiim. Huruf demi huruf kuketik menjadi kata yang merangkai kalimat2, menjelaskan tentang apa yang harus diketahuinya. Hati ini memang gundah tapi inilah yang harus kulakukan. Subhanallah! Sungguh Sofyan begitu besar hatinya. Dengan mantap dikatakannya bahwa dia bersedia menikahiku dan dia memintaku untuk segera mengabarkan berita itu kepada orang tuaku karena tiga minggu mendatang dia akan pulang ke tanah air dan meminangku. Alhamdulillah Ya ALLAH.
Syukur tak henti2nya kuucapkan. Setelah begitu banyak dosa yang kulumurkan dalam diriku, Engkau masih menunjukkan kasih sayang-Mu. Tak terasa air mata mengalir membasahi pipi dan isakan kecilku terdengar membuat Nida yang sedari tadi asik membaca di tempat tidur menoleh dan bertanya, “Kenapa, Mbak?” Aku pun segera mendatangi dan memeluknya. “InsyaAllah aku akan menikah dengan Sofyan.” Nida pun langsung mengucap hamdallah dan memberikan selamat untukku. Hanya 1 minggu setelah lamaran, aku dan Sofyan melangsungkan akad nikah dan walimatul ‘ursy yang sederhana. Teman2 kampus banyak yang datang memberikan selamat meski mereka harus jauh2 datang dari Jakarta menuju rumahku yang ada di Solo.
Mereka ikhlas merelakan uang yang tentu tidak sedikit untuk ongkos transportasi ke Solo. Untuk penginapan, Alhamdulillah masih ada rumah saudara yang cukup untuk menampung meski mereka harus tidur dengan tempat ala kadarnya. Aku benar2 bahagia. Aku sudah sah menjadi istri Bang Sofyan. Tak terkira syukur yang kupanjatkan pada Kekasihku Yang Abadi. Ya ALLAH, Engkau yang memiliki cinta, berikanlah cinta pada kami sehingga kami dapat memulai kehidupan baru ini dengan penuh cinta kepada-Mu.
Berikanlah kepada kami keturunan yang sholeh yang menjadi pengikut orang2 mukmin. Benar2 mulia hati suamiku ini. Keikhlasannya menerimaku sungguh membuatku kagum. “ALLAH itu Maha Menerima Tobat hamba-Nya, De. Sebesar apapun itu, Allah akan mengampuni jika hambanya sungguh2 bertobat. Abang percaya Ade pun telah bertobat. Bagi Abang, yang penting sekarang Ade telah berubah menjadi lebih baik. Jadi janganlah bersedih, De! Maa wadda ‘aka rabbuka wamaa qalaa. Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tidak pula benci kepadamu” Aku selalu ingat kata2 itu Bang. Kamu telah memberiku banyak hal. Kamu telah membimbingku untuk terus memperbaiki diri. Kamu benar2 suami yang berhati lembut. Tak pernah sekali pun kamu berkata kasar atau membentakku. Meski telah 3 tahun pernikahan dan ALLAH belum menitipkan anak untuk kita, kamu terus saja membesarkan hatiku dan kamu terus memberikan perhatianmu untukku.
Alhamdulillah Bang, akhirnya ALLAH menitipkan jabang bayi di dalam kandunganku. Kamu sampai menitikkan air mata bahagia saat aku bilang bahwa aku hamil 2 bulan. Kamu selalu membacakan ayat2 dari Surat Cinta-Nya setiap ba’da maghrib. Setiap kali akan berangkat mengajar, kamu selalu berkata pada bayi dalam rahimku ini agar dia menjagaku selama kamu pergi. Pulang mengajar kamu pun mengecupnya dan menasehatinya agar kelak menjadi anak yang sholeh. Pagi buta saat kubilang aku ingin makan soto, kamu tahu aku lagi ngidam dan kamu langsung mengambil kunci motor dan memacunya untuk mencari soto kegemaranku. Hampir 1 jam kamu baru pulang dan dengan wajah sumringah kamu ulurkan soto yang sudah kamu pindahkan ke mangkok untukku. Dari mana kamu dapat soto di saat aku tahu pemilik warungnya pasti sedang lelap2nya tertidur? Kamu hanya tersenyum dan berkata, “Ada orang baik yang membantu kita atas ijin ALLAH.”
Kebiasaanmu setiap awal bulan adalah mengajakku ke toko buku. Membeli beberapa buah buku bertemakan Islam. Hobimu membeli buku sejak kamu masih SMA membuatmu bisa mendirikan sebuah perpustakaan mini yang sampai saat ini selalu ramai dikunjungi warga di kampung kita. Garasi kecil di samping rumah kamu sulap sedemikian rupa dan kamu tata apik buku2mu di dalam beberapa rak kayu. Prinsipmu adalah “Banyak membaca, banyak ilmu”. “Tidak semua orang dapat rejeki untuk membeli buku, De. Jadi apa salahnya jika kita berbagi dengan mereka.” Duh Abangku sayang, besarnya keinginanmu untuk selalu berbagi dengan sesama.
Aku ingat saat kamu memintaku menunggu di kamar karena kamu akan memberikan kejutan untukku. Hampir dua jam aku menunggu dan terpaksa akhirnya aku keluar juga meski kamu melarangku untuk keluar karena aku mencium bau masakan gosong. Abangku yang baik, ternyata kamu ingin memasak untukku. Aku haru melihat kesungguhanmu, Bang, meski hasilnya tak seindah yang kamu bayangkan. Aku langsung menghambur memelukmu, meski bajumu berlepotan tak karuan. Aku menangis bahagia dalam dekapanmu. Baiknya kamu, Bang. Disela2 kesibukan di pesantren dan yayasan, kamu begitu memperhatikan aku.
Kejutan2 selalu kamu berikan untukku. Seperti di saat hari ulang tahunku, kamu bangunkan aku di waktu subuh, kamu kecup keningku mesra, kamu berikan selamat untukku, kamu doakan untuk kebaikkanku,dan kamu berikan kado sebuah jilbab beserta kerudng yang kutahu harganya tidaklah murah. Duh suamiku, berapa lama kamu kumpulkan uangmu untuk membelikan kado ini? Mendapatimu yang penuh kasih dan tidak banyak menuntuk pun aku sudah sangat bersyukur, ditambah lagi dengan perhatian2mu, bagaimana aku tidak bersyukur menjadi istrimu? Setiap minggu kamu selalu mengajakku menghadiri pengajian di masjid At-Ta’awun. Sepulangnya dari sana kamu ajak aku mampir makan di warung sate ayam kegemaranmu ato ke warung soto kegemaranku.
Abang, Ade jadi takut jika menyakiti hatimu. Afwan, Bang, aku pernah curiga padamu. Aku takut kamu bosan dengan pernikahan ini. Saat kamu sibuk dengan proyek pembangunan pondok pesantren As-Salam di Desa Babakan, sebuah pesantren modern dengan konsep pendekatan pada alam. Tiba2 waktu yang kamu berikan untukku berkurang dan kamu jarang bisa berjamaah isya denganku. Mau bercengkerama dan ngobrol santai denganmu pun sulit waktu itu. Tiba di rumah kamu sudah kecapekan dan pasti langsung tertidur pulas. Pagi2 selepas subuh pun kamu langsung berangkat. Aku tidak berani bertanya tentang kecurigaanku, Bang. Tapi akhirnya kamu menceritakan tentang proyek itu di saat Pondok Pesantren As-Salam telah berdiri dengan megahnya. Duhai Abang, maafkan prasangka burukku.
Tak sepantasnya aku berpikiran buruk padamu. Ya ALLAH ampuni hambamu! Abang, aku kangen padamu. Hanya sebentar waktu yang diberikan ALLAH untuk kita bertemu. Hanya sebentar waktu yang kita lewatkan untuk bersama2 memuji keagungan-Nya. Aku kangen mentadabburi Quran bersamamu. Aku kangen mendengar nasehatmu setiap kali kamu hendak berangkat kerja. Aku kangen saat engkau menggodaku hingga aku tersipu malu. Kuingat lagi obrolan kita di YM. Engkau memang sempat tercenung sejenak di saat aku selesai mengungkapkannya padamu. Diri ini telah cacat. Tiada lagi yang indah dalam diriku.
Telah hilang apa yang seharusnya masih ada padaku. Aku terjerumus di kelamnya masa lalu pergaulanku, 10 tahun yang lalu, tepatnya di saat aku masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Alhamdulillah ALLAH masih memberi waktu untukku menyesali semua itu. Dengan hati terbuka kuterima hidayah ALLAH di saat semester pertama aku kuliah, aku mulai mengulurkan jilbab dan kerudung untuk menutupi auratku. Iman ini pun mulai kubenahi dan kutata lagi. Abang, sakit mulai terasa. Sepertinya bayi dalam rahimku ini ingin segera melihat wajah ibunya. Meski sayang dia tak bisa melihat wajahmu, Bang. Doakan agar bayi kita selamat dan kelak menjadi anak sholeh yang selalu mendoakan kita. Aku bahagia, Bang. Ayah, bunda, Ummi, dan Abi ada di sini menemaniku. Begitu pun Nida dan tadi sempat kulihat Bang Arul di depan ruang bersalin. Aku ingat saat malam itu Bang Arul dan Nida mendatangi rumah kita.
Mereka menangis dan tidak berkata apa2. Nida hanya memelukku erat. Aku bingung, Bang. Aku tau pasti ada sesuatu yang terjadi denganmu. Selepas Maghrib, kamu pamit ingin bersilaturahmi ke rumah Bang Arul. Perasaanku sudah tak enak kala itu. Aku ingin ikut bersamamu tapi kamu mencegahku. Kamu memintaku beristirahat untuk menjaga kandunganku. Sungguh ALLAH menyayangimu. Dia mempercepat waktumu untuk segera bertemu dengan-Nya. Aku menangis tapi aku ikhlas. Kamu tak peduli dengan nyawamu sendiri saat kamu berusaha menolong bayi yang terjebak kebakaran di dalam rumah tetangga Bang Arul.
Meski bayi itu tak berhasil kamu selamatkan, kamu pun tak berbeda nasibnya tapi engkau meninggalkanku dengan cara yang mulia. Mudah2an ALLAH memberikan tempat yang mulia untukmu wahai suamiku yang berhati mulia. Abang, aku sudah siap melahirkan bayi ini. Akan kuberi nama Khairul Ihsan jika laki2 dan Miftahul Jannah jika perempuan, sesuai dengan keinginanmu dulu. Sakitku sungguh tak ada apa2nya dibandingkan dengan kenikmatan yang selama ini kurasa. Bayi ini adalah wujud cintamu yang dititipkan ALLAH untuk kita. Rasanya seperti diantara hidup dan mati, Bang. Kalo harus menyusulmu sekarang pun aku sudah siap dan ikhlas.
Inilah jihad seorang wanita, Bang. Akhirnya aku melaluinya. Alhamdulillah Abang, bayi kita telah lahir dengan selamat. Laki2, sangat mirip denganmu, mudah2an hati dan kepribadiaannya pun tak berbeda denganmu. Sekarang Ihsan telah dewasa. Perawakan dan ketampanannya persis denganmu. Begitu pun dengan watak dan hatinya. Dia juga telah mendapatkan LC dari Al-Azhar dengan jurusan yang sama denganmu. Sebentar lagi dia akan menikah dengan Laila, seorang gadis yang InsyaAllah sholehah yang ditemuinya di Kairo. Doakanlah mereka, Bang. Mifta pun baru saja lulus SMA. Dia memilih mondok di pesantren As-Salam semenjak masih SMP.
Alhamdulillah dia telah mengantongi beasiswa dari Universitas Malaya pada bidang kedokteran. InsyaAllah minggu depan kami akan mengantarnya ke Malaysia. Tunggu kami, Bang dan doakan kami agar istiqomah dan menyusulmu dalam keadaan khusnul khotimah. Kita akan bertemu di surga-Nya. “Ayo, Dek kita berangkat ke masjid! Ihsan sudah menunggu di luar. Keluarga Laila juga sudah tiba di masjid.” Bang Arul tiba2 sudah berdiri di ambang pintu kamar, berkata lembut dan tersenyum padaku.
Kutatap manik indah matanya dan kubalas senyumannya dengan senyum terindah yang kupunya. Kuberanjak dari keterdiamanku di depan jendela. Kuhampiri dia, kupeluk sejenak dan kukecup pipinya. “Ayo, Bang!”
Kami pun berjalan bergandengan menuju halaman di mana anak sulungku sedang menantiku untuk mengantarkannya menuju lembaran hidup yang baru. Alhamdulillah Ya, ALLAH! Sungguh nikmat yang Kau berikan tiada terkira, meski beribu2 dosa yang pernah kulakukan tak terhitung seperti debu yang beterbangan. Tak kan cukup sisa umurku untuk bersyukur sebagai balasan atas segala apa yang telah Engkau anugerahkan padaku. “Sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah:27)
Minggu, 26 Agustus 2007
Sragen, 03:54 Yayapoenya
dicopy dari
http://featherapocalypse.wordpress.com/category/cerpen-islami

SAHABAT

Seorang sahabat tidak memiliki
kepentingan lain dari kita,
kecuali membantu kita menjadi pribadi
yang berbahagia dalam pilihan-pilihan baik kita.

Dia mengenal lagu-lagu keberanian di hati Anda,
dan dengan penuh kasih menyanyikan lagu-lagu itu
saat Anda berkecil hati.

Sedikit sekali orang yang betul-betul
mendengarkan Anda,
dan hanya seorang sahabat sejati
yang mampu mendengar yang tidak Anda katakan.

oleh: Mario Teguh

JILBAB

Sesungguhnya Allah SWT menjadikan seluruh tubuh
wanita ini perhiasan dari ujung rambut hingga ujung kaki,
segala sesuatu dari tubuh kita yang terlihat oleh bukan muhrim kita
semuanya akan dipertanggung jawabkan
di hadapan Allah SWT nanti, jilbab adalah hijab untuk wanita ..

Jilbab hanyalah kain, namun
hakekat atau arti dari jilbab itu sendiri yang harus kita pahami

Hakekat jilbab adalah hijab
lahir batin , hijab mata kamu dari memandang lelaki yang bukan muhrim
kamu, hijab lidah kamu dari berghibah dan kesia siaan
...usahakan slalu berdzikir kepada Allah SWT, hijab telinga kamu dari
mendengar perkara yang mengundang mudharat baik untuk dirimu maupun
masyarakat, hijab hidungmu dari mencium cium segala yang berbau
busuk, hijab tangan-tangan kamu dari berbuat yang tidak senonoh, hijab
kaki kamu dari melangkah menuju maksiat, hijab pikiran kamu dari
berpikir yang mengundang syetan untuk memperdayai
nafsu kamu, hijab hati kamu dari sesuatu selain Allah SWT, bila kamu
sudah bisa, maka jilbab yang kamu pakai akan menyinari
hati kamu..itulah hakekat jilbab

bila kamu memakai jilbab, itu lah karunia dan rahmat yang datang dari Allah SWT yang Maha
Pemberi Rahmat, bila kamu mensyukuri rahmat itu kamu akan
diberi kekuatan untuk melaksanakan amalan-amalan jilbab hingga
mencapai kesempurnaan yang diinginkan Allah SWT

..ingat lah akan satu hari dimana
seluruh manusia akan dibangkitkan..ketika ditiup terompet yang kedua
kali ..pada saat roh-roh manusia seperti anai-anai yang
bertebaran dan dikumpulkan dalam satu padang yang tiada batas,
yang tanahnya dari logam yang panas, tidak ada rumput maupun
tumbuhan, ketika tujuh matahari didekatkan di atas kepala kita namun
keadaan gelap gulita, ketika seluruh nabi ketakutan, ketika ibu
tidak memperdulikan anaknya, anak tidak memperdulikan ibunya , sanak
saudara tidak kenal satu sama lain lagi, kadang satu sama lain bisa
menjadi musuh, satu kebaikan lebih berharga dari segala
sesuatu yang ada di alam ini, ketika manusia
berbaris dengan barisan yang panjang dan masing masing hanya memperdulikan
nasib dirinya, dan pada saat itu ada yang berkeringat karena rasa
takut yang luar biasa hingga menenggelamkan dirinya, dan rupa-rupa
bentuk manusia bermacam-macam tergantung dari amalannya, ada yang
melihat ketika hidupnya namun buta ketika dibangkitkan, ada yang
berbentuk seperti hewan, ada yang berbentuk seperti syetan, semuanya
menangis..menangis karena hari itu Allah SWT murka.. belum pernah
Allah SWT murka sebelum dan sesudah hari itu. hingga ribuan tahun manusia
didiamkan Allah SWT di padang mahsyar yang panas membara hingga
Timbangan Mizan digelar itulah hari Hisab..

bila kita tidak berusaha untuk
beramal di hari ini, entah dengan apa nanti kita menjawab bila kita disidang
oleh Yang Maha Perkasa, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuat, Yang
Maha Agung. Allah SWT .
............................................................................................

(buta, tuli dan bisu.. wanita yang tidak pernah
melihat lelaki selain muhrimnya, wanita yang tidak pernah mau mendengar
perkara yang dapat mengundang murka Allah SWT, wanita yang tidak pernah
berbicara ghibah dan segala sesuatu yang mengundang dosa dan sia-sia)